Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Membaca al-Qur’an kepada orang yang sudah wafat dan menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an kepadanya.



Membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an dan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an tersebut orang-orang yang sudah meninggal (mayit), merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Terkait hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai hukumnya, dan apakah pahala bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepada orang yang sudah meninggal tersebut.


Naskah ringkas ini akan mengkaji permasalahan ini dalam tiga bagian, Pertama; Para ulama yang melarang dan mengemukakan bahwa pahala tak sampai kepada mayit. Kedua para ulama yang membolehkan dan mengemukakan bahwa pahala tersebut sampai kepada mayit, dan ketiga Kesimpulan.


Pendapat Para Ulama Fiqih Yang Melarang


Ulama Mazhab dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagiannya melarang dan sebagian mereka membolehkan


Ahmad Al-Dasuqi al-Maliki (w 1230 H) mengemukakan bahwa ulama-ulama terdahulu memakruhkan membaca al-Qur’an bagi mayit dan menghadiahkan pahala kepadanya. Akan tetapi para ulama sesudah mereka menghukumi hal tersebut sebagai sebuah kebolehan.

 

كُرِهَ قِرَاءَةٌ (بَعْدَهُ) أَيْ بَعْدَ مَوْتِهِ (وَعَلَى قَبْرِهِ) لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ لَكِنْ الْمُتَأَخِّرُونَ عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ وَجَعْلِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَحْصُلُ لَهُ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ.(1) 


Makruh hukumnya membacakan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal maupun di kuburnya, karena hal tersebut bukan merupakan amal orang-orang terdahulu, akan tetapi para ulama belakangan membolehkan membacakan al-Qur’an dan dzikir lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal, dan pahala akan sampai kepadanya dengan izin Allah.


Serupa dengan hal tersebut Ahmad Al-Shawi al-Maliki (w 1241 H) menyampaikan bahwa, membaca al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal bisa dihukumi makruh namun bisa juga dihukumi boleh,


كُرِهَ (قِرَاءَةٌ) لِشَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ (عِنْدَ الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ عَلَى الْقُبُورِ) لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ، وَإِنَّمَا كَانَ شَأْنُهُمْ الدُّعَاءَ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ وَالِاتِّعَاظَ (إلَّا لِقَصْدِ تَبَرُّكٍ) بِالْقُرْآنِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ.(2) 


Makruh hukumnya membacakan sesuatu dari al-Qur’an kepada orang yang meninggal dan di kuburnya karena hal tersebut bukanlah merupakan amalan orang terdahulu. Akan tetapi jika membaca al-Qur’an sebagai do’a untuk memohon ampunan, kasih sayang Allah dan pengingatan, bukan untuk tujuan tabarruk dengan al-Qur’an, maka hal tersebut dibolehkan.


Demikian pula kalangan Syafi’iyyah, sebagian menerima hal tersebut dan sebagiannya menolak. Pendapat yang menolak sampainya pahala membaca al-Qur’an bagi mayit diantaranya dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Syafi’i (w 676 H), sebagai berikut:


وَالْمَشْهُورُ فِي مَذْهَبِنَا أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لَا يَصِلُهُ ثَوَابُهَا.(3) 


Pendapat yang terkenal dari madzhab kami bahwa membaca al-Qur’an tidak sampai pahalanya (kepada orang yang sudah meninggal).


Diantara dalil yang menjadi sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam memahami makna surat al-Najm ayat 39


وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى 


dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.


Berdasarkan ayat tersebut, Imam al-Nawawi mengemukakan sebuah riwayat berikut:


اخبرنا الربيع بن سليمان قال حدثنا الشافعي إملاء قال: يلحق الميت من فعل غيره وعمله ثلاث: حج يؤدى عنه، ومال يتصدق به عنه أو يقضى، ودعاء. فأما ما سوى ذلك من صلاة أو صيام فهو لفاعله دون الميت.(4) 


Mengabarkan kepada kami Rabi ibn Sulaiman, Ia berkata menyamparkan kepada kami al-Syafi’i dengan mendiktekan. Ia berkata mengikuti (pahala) kepada mayit dari amal perbuatan orang lain 3 hal, haji yang ditunaikan atas namanya, harta yang dishadaqahkan baginya, dari hartanya atau diqadha serta do’a. adapun perbuatan apapun selain hal tersebut seperti shalat, puasa maka perbuatan dan pahalanya bagi yang melakukannya bukan bagi mayyit.


Ibnu Katsir dari kalangan Syafi’iyyah juga mengemukakan pendapatnya,


ومن وهذه الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ، وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلَا كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ وَلَا حَثَّهُمْ عَلَيْهِ، وَلَا أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلَا إِيمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ(5) 


Terkait ayat yang mulia Ini Imam Al-Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya beristinbath bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal, karena bacaan al-Qur’an tersebut bukan perbuatannya bukan pula apa yang ia upayakan. Oleh karenanya Rasulullah saw tidak mensunnahkan dan menganjurkan untuk mengerjakan hal tersebut. Dan tidak pula memberikan petunjuk tentang hal tersebut baik dengan nash yang jelas maupun isyarat. Dan tidak pula diriwayatkan hal tersebut dari seorangpun sahabat radhiyallahu anhum.


Dalil lain yang menjadi sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam memahami hadits nabi saw berikut


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.(6) 


Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,” Jika seorang manusia meninggal, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali 3 hal: shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akannya.


Para ulama yang mengemukakan pendapat bahwa tak sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit mengemukakan bahwa, hadits ini menunjukkan bahwa pahala bagi orang meninggal terputus, kecuali 3 hal, yang juga merupakan dampak dari amal perbuatan yang ia sendiri (orang meninggal tersebut) kerjakan semasa hidupnya.


Pendapat Para Ulama Fiqih Yang Membolehkan


Para ulama kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bolehnya membacakan al-Qur’an kepada mayit, maupun membacanya di kubur. Demikian pula pahala bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepadanya.


Ibnu ‘Abidin al-Hanafi (w 1252 H), seorang ulama dari kalangan Hanafiyah, mengemukakan pendapatnya.


مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُورَةَ يس خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَوْمَئِذٍ(7) 

Barangsiapa yang masuk tempat pemakaman, kemudian membaca surat Yasin niscaya Allah meringankan kepada mereka pada hari tersebut.


Selanjutnya beliau menuliskan, cara mengirimkan pahala secara khusus kepada orang yang sudah wafat.


وَيَقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مِنْ الْفَاتِحَةِ وَأَوَّلِ الْبَقَرَةِ إلَى الْمُفْلِحُونَ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ - وَآمَنَ الرَّسُولُ - وَسُورَةِ يس وَتَبَارَكَ الْمُلْكُ وَسُورَةِ التَّكَاثُرِ وَالْإِخْلَاصِ اثْنَيْ عَشَرَ مَرَّةً أَوْ إحْدَى عَشَرَ أَوْ سَبْعًا أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ إلَى فُلَانٍ أَوْ إلَيْهِم.(8) 


Membaca yang mudah dari al-Qur’an seperti surat al-Fatihah, awal surat al-Baqarah ayat 1-5, ayat kursi dan ayat 285 (آمَنَ الرَّسُولُ), surat Yasin, surat al-Mulk, surat al-Takatsur, dan surat al-Ikhlas sebanyak 12 kali, 11 kali, 7 kali, atau 3 kali kemudian ia berkata: Ya Allah sampaikanlah pahala apa yang kami baca dari al-Qur’an kepada fulan atau kepada mereka.


Lebih baik lagi bagi orang yang menshadaqahkan pahala bacaan al-Qur’annya untuk meniatkannya bagi seluruh orang beriman baik laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut akan disampaikan kepada mereka tanpa mengurangi sedikitpun pahala bagi dirinya sendiri.(9) 


Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat dengan argumen umum bahwa semua amal shalih pahalanya sampai kepada orang yang sudah meninggal. Abu Bakar al-Khalal al-Hanbali (w 311 H) mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.


الْمَيِّتُ يَصِلُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ غَيْرِهِ من الخير.(10) 


Orang yang meninggal sampai kepadanya (pahala) segala amal shalih, seperti shodaqoh maupun yang lainnya dari amal kebajikan. 


Ibnu Muflih al-Hanbali (w 884 H) selain menguatkan pendapat di atas, juga mengemukakan sahnya seseorang menghadiahkan pahala shalat fardhu yang ia kerjakan.

 

إِذَا صَلَّى فَرْضًا، وَأَهْدَى ثَوَابَهُ صَحَّتِ الْهَدِيَّةُ، وَأَجْزَأَ فَاعِلَهُ.(11) 


Jika seseorang shalat fardhu kemudian ia menghadiahkan pahalanya, maka sah hadiah tersebut. Dan dibalasi pula orang yang melakukannya. 


Dibenarkan juga bagi seseorang menghadiahkan pahala shalat maupun ibadah-ibadah lainnya termasuk bacaan al-Qur’an kepada kedua orang tuanya. Meski demikian Ibnu Muflih mengemukakan tidak akan bermanfaat jika disampaikan kepada selain Muslim.(12) 


Musthafa Al-Rahyabani al-Hanbali (w 1234 H) bahkan mensunnahkah menghadiahkan amal sholeh kepada orang yang sudah meninggal. Ia mengemukakan


وَسُنَّ إهْدَاء الْقُرَبِ، فَيَقُولُ: اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ ذَلِكَ لِفُلَانٍ.(13) 


Dan disunnahkan menghadiahkan amal kebajikan, dengan mengatakan ya Allah jadikanlah pahala atas perbuatanku untuk si fulan.


Selanjutnya al-Rahyabani menyampaikan, diutamakan untuk meminta pahala dari Allah ta’ala dan kemudian menghadiahkannya juga kepada orang lain. Sebagaimana perkataan sebagian ulama, bahwa pahala Allah bagi orang yang menghadiahkan dan yang mendapatkan hadiah, karena kemuliaan Allah sangatlah luas.(14) 


Dari Kalangan Syafi’iyyah, Syamsuddin al-Ramli al-Syafi’i (w 1004 H) yang dijuluki “Imam Syafi’i al-shagir” mengemukakan pendapat:


إذَا نَوَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لَهُ أَوْ دَعَا لَهُ عَقِبَهَا بِحُصُولِ ثَوَابِهَا لَهُ أَوْ قَرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ حَصَلَ مِثْلُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهِ وَحَصَلَ لِلْقَارِئِ أَيْضًا الثَّوَابُ.(15) 


Jika meniatkan bacaan al-Qur’an bagi orang yang sudah meninggal, atau berdo’a baginya dengan mengiringkan pahala baginya. Atau membaca di kuburnya, sampai pahala bacaannya tersebut, dan sampai pula pahalanya kepada pembacanya.


Menguatkan pendapat tersebut di atas, Qalyubi (w 1069 H) dan Umairah, mengemukakan bahwa menurut sebagian imam, pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai.


إنَّ ثَوَابَ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ عَنْ الْمَيِّتِ يَحْصُلُ لَهُ حَتَّى الصَّلَاةَ وَالِاعْتِكَافَ، وَإِنْ كَانَ مَرْجُوحًا عِنْدَنَا.(16) 


Sesungguhnya pahala berbagai ibadah akan sampai kepada mayyit, termasuk sholat dan i’tikaf dan ini adalah pendapat yang kuat menurut kami.


Meski demikian dalam hal ini bagi orang yang sudah meninggal, pahala shadaqah bagi lebih utama dari do’a, dan do’a lebih utama dari bacaan al-Qur’an.(17)  


Adapun diantara dalil yang menjadi landasan oleh para ulama yang membolehkan hal ini, adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,


إِنَّ مِنَ الْبِرِّ بَعْدَ الْبِرِّ أَنْ تُصَلِّيَ لِأَبَوَيْكَ مَعَ صَلَاتِكَ، وَتَصُومَ لَهُمَا مَعَ صَوْمِكَ.(18) 


Sesungguhnya diantara bentuk kebaikan di atas kebaikan adalah engkau sholat bagi orangtuamu dengan sholatmu, dan engkau berpuasa bagi kedua orangtuamu dengan puasamu.


Juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ.(19) 


Bacakanlah surat yasin atas orang yang meninggal diantara kalian.


Ahmad al-Thahtawi al-Hanafi menuliskan pendapatnya terkait dalil surat al-Najm ayat 39. Menurutnya ayat ini tak bisa menjadi dalil tak sampainya pahala kepada mayit dengan 8 argumen, diantaranya adalah: 


Pertama, Surat al-Najm sudah dihapuskan (mansukh) hukumnya dengan surat al-Thur ayat 21. {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ} ia mengatakan (الآية فإنها تثبت دخول الأبناء الجنة بصلاح الآبا) ayat ini menetapkan bahwa meski seorang terikat dengan amal masing-masing, namun keimanan dapat menghubungkan orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup.


Kedua, mengutip pendapat sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa ayat ke 39 surat al-Najm adalah syari’at khusus kaum Nabi Ibrahim dan Musa as. Sebagaimana teks surat tersebut jika dibaca dari ayat 36,


أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)


Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.


Ketiga, mengutip pendapat seorang tabi’in, Ikrimah maula Ibnu Abbas (w 104 H), bahwa yang dimaksud (الإنسان) dalam ayat ini adalah orang kafir. Sedangkan bagi orang beriman yang sudah meninggal dapat menerima manfaat dari amal orang beriman yang masih hidup.


Keempat, mengutip pendapat seorang tabi’in, Rabi’ bin Anas (w 139 H), bahwa seorang manusia tidak mendapatkan pahala kecuali atas apa yang ia upayakan adalah keadilan yang Allah tetapkan atas seluruh manusia (من طريق العدل). Kemudian berdasar Keagungan-Nya, Allah menambahkan berbagai karunia-Nya bagi mahluk-Nya (من طريق الفضل).


Kelima, mengutip pendapat salah seorang penafsir Qur’an dari Abad 3 Hijriah, Husain bin Fadhl (w 282 H), bahwa yang dimaksud “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (al-Najm 39)” adalah terkait dengan makna niyat. Bahwa setiap amal tergantung dengan niyat dan seorang manusia tidak akan mendapat kecuali apa yang ia niatkan.


Keenam dan seterusnya dapat dirujuk kepada buku beliau, Hasyiyah al-Thahtawi.(20) 


Kesimpulan


Arti penting dari berbagai perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan fiqih dalam kajian ini adalah, mengemukakan tentang cara berfikir dalam menetapkan hukum (istinbath). Masing-masing memberikan berbagai gambaran bagi praktik fiqih yang khas dan unik yang dapat diterapkan bagi masyarakat Muslim Indonesia. Memilih dan mengikuti salah satu pendapat tentu dibenarkan, dengan menjauhkan diri menyalahkan dan menghujat pendapat lain. Terlebih bagi kalangan masyarakat umum yang belum sampai kapasitasnya sebagai mujtahid. Wallahu a’lam bishowwab.

Sigit Suhandoyo, MA


Catatan Kaki

1. Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu al-Dasuqi ala al-Syarhi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 1, hlm 423.
2. Ahmad al-Shawi al-Maliki, Hasiyatu al-Shawi ‘ala al-Syarhi al-Shagir, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tth), Juz 1, hlm 568
3. Abu Zakariya al-Nawawi al-Syafi’i, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats al-‘Arabi, cet ke 2, 1392 H), Juz 7, hlm 90.
4. Abu Zakariya al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 15, hlm 521.
5. Abu al-Fida Isma’il ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Dar Thayibah, cet ke 2, 1420H), Juz 7, hlm 465.
6. Muslim Ibn Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Araby, tth), Juz 3, hlm 1255, hadits no 1631
7. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Rad al-Muhtar ‘ala al-Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet kedua 1442 H), Juz 2 hlm 243
8. Ibid
9. Ibid
10. Abu Bakar al Khalal al-Hanbali, al-Wuquf wa al-tarjil min al-Jami’ li Masa’il al-Imam Ahmad bin Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 1 hlm 85
11. Burhanuddin Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’fi Syarhi al-Muqni’ , (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah cet pertama 1418 H), Juz 2 hlm 282.
12. Ibid
13. Musthafa ibn Sa’ad al-Rahyabani al-Hanbali  (w 1243 H), Mathalibu Uli al-Nuha Fi Syarhi Ghayati al-Muntaha (al-Maktab al-Islami, cet kedua 1415 H), Juz 1, hlm 937.
14. Ibid
15. Syamsuddin al-Ramli al-Syafi’i, Nihayatu al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), Juz 6, hlm 93.
16. Ahmad Salamah al-Qalyubi & Ahmad al-Burulusi ‘Umairah, Hasiyata Qalyubi wa ‘Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), Juz 3, hlm 176.
17. Ibid
18. Muslim Ibn Hajaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Araby, tth), Juz 1,  hlm16. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannifnya, hadits no 12084. Dengan tambahan matan (وَأَنْ تَصَدَّقَ عَنْهُمَا مَعَ صَدَقَتِكَ) dan engkau bershodaqah bagi kedua orangtuamu dengan shodaqahmu.
19. Abu Dawud Sulaiman ibn al-As’ats al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 3, hlm 191, hadits no 3121.
20. Ahmad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyatu al-Thahthawi ala Maraqi al-Falah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet pertama 1418 H), Juz 1, hlm 622.


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar