Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Tipu Daya Syaithan; Ujian Bagi Keimanan Muslim.


Sigit Suhandoyo. Dalam al-Qur’an penggunaan teks Iblis terulang dalam 11 ayat, sedangkan teks syaitan baik dalam bentuk tunggal dan jamak terulang sebanyak 88 ayat.(1)  Penggunaan kedua teks ini dalam al-Qur’an adalah untuk menunjukkan pemaknaan yang berbeda. Term Iblis dalam al-Qur’an terkait erat dengan konfrontasinya dengan Adam as dan sifat pembangkangan  mereka kepada perintah Allah  yang kemudian mengakibatkan kutukan. Sedangkan term syaithan terkait dengan pembalasan mereka terhadap umat manusia melalui tipudaya mereka terhadap Adam as dan keturunannya, serta pensifatan bagi golongan yang mengikuti jalan yang mereka tempuh.

Keberadaan Iblis dengan demikian menjadi salah satu instrumen bagi Allah ta’ala untuk menguji keimanan Muslim. Syaithan sebagaimana ia dikenal, adalah mahluk yang sangat piawai menghiasi perbuatan-perbuatan manusia, memberi manusia tujuan yang salah dalam lingkup tanggung jawab manusia sendiri. Kesalahan-kesalahan (maksiat) yang kemudian dilakukan oleh manusia, tidak dipaksakan oleh syaithan, melainkan melalui godaan dan bisikan yang halus (nazgh, waswasa), atau dengan pengaruhnya menyebabkan kelalaian seorang Muslim. Syaithan tidak menjanjikan apapun selain sebuah ilusi kosong, segera setelah seseorang mematuhinya, sesegera itu pula ia meninggalkannya, lalu jadilah kemaksiatan itu tanggung-jawab pelakunya sendiri. 

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaitan ketika dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam".” (al-Hasyr ayat 16)

Pakar tafsir al-Zuhaili mengemukakan, setan itu menghiasi keburukan hingga tampak baik dan indah di mata manusia, membujuk, menghasut, dan memprovokasi manusia untuk kafir; menghiasi kekafiran hingga seolah-olah tampak baik dan indah di mata manusia. Ketika manusia benar-benar kafir menuruti bujukan dan hasutan setan, dengan serta-merta setan pun berlepas diri darinya, mencampakkannya, dan cuci tangan terhadapnya pada hari Kiamat,(2)  dan jadilah manusia mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri dihadapan Allah ta’ala.

Kesadaran bahwa syaithan adalah musuh yang nyata, sejatinya menjadikan setiap Muslim untuk selalu waspada. Mendekatkan dirinya kepada Allah dan Menjauhkan diri dari syaithan, serta memohon perlindungan kepada Allah ta’ala dari kekuatan syaithan dan para pengikutnya. Inilah suatu bentuk spiritualitas dalam kerangka kehidupan Muslim yang menyadari tipudaya syaithan dalam kehidupan.

Dalam teks hadits, dapat pula kita temukan suatu contoh spiritualitas yang dibangun dari kesadaran atas keberadaan syaithan. Misalkan hadits bahwa syaithan itu menyusup dalam diri manusia melalui aliran darahnya.(3)  Meskipun beberapa penafsir hadits mengemukakan bahwa menyusupnya syaithan melalui aliran darah merupakan kiasan(4) atau bukan merupakan makna hakiki, namun tetap saja hadits ini menginspirasi kalangan ulama Muslim untuk menganjurkan banyak berpuasa, sehingga aliran darah menyempit lalu mempersulit syaithan menyusup melaluinya. 

Makna khusus dari keberadaan iblis/syaithan, adalah bukan untuk menjadi mitos bagi tumbuhnya khurafat dan takhayul. Adanya figur kejahatan dan tipudaya ini, adalah untuk menguji keta’atan manusia kepada Allah, menggugah setiap Muslim untuk meraih kedekatan kepada Allah, menguatkan cinta dan ketergantungan kepada-Nya, selalu menyebut nama-Nya dalam segala aktifitas. Sebagaimana pula telah diwariskan kepada setiap Muslim secara turun temurun berabad-abad sebuah do’a untuk berlindung dari godaan syaithan yang terkutuk, menemani setiap Muslim sebagai sebuah perlindungan yang efektif, disamping juga berbagai wirid yang mengaitkan manusia kepada Allah. Wallahu a'lam bishowab.


Catatan Kaki

  1. Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fādz al-Qur’ān al-karīm, (Libanon: Dār al-FIkr, 1987), hlm 134, 382-383.
  2. Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet ke 2, 1418 H), Juz 28, hlm 99.
  3. Teksnya adalah (إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ). Lihat Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuwaiq al-Najah, cet. pertama, 1422 H), Jilid 3, hlm 50, hadits no 2038. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya.
  4. Menurut al-Imam al-Nawawi, teks ini dapat difahami sebagai sebuah pengibaratan akan dahsyatnya tipu daya syaithan melalui bisikannya yang begitu halus memperdaya manusia untuk bermaksiat kepada Allah dengan hati, fikiran dan perbuatan lahiriyahnya. Lihat: Abu Zakariya al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, cet. kedua, 1392 H), jilid 14, hlm 157.


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar