Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Genealogi Iblis


Sigit Suhandoyo. Menurut al-Zabidi, seorang pakar susastera Arab kenamaan dari abad 18, Iblis berasal dari kata “بلس” yang berarti “مَن لَا خَيْرَ عندَه” mahluk yang tidak memiliki kebaikan. Bisa juga berarti “هُوَ الَّذِي عندَه إبْلاسٌ وشَرٌّ” ia yang berputus asa dan bertingkah laku buruk. Disebut dengan kata iblis karena “يَئِسَ من رحمةِ الله ونَدِمَ” ia berputus asa dari rahmat Allah dan menyesal.(1)  Penggunaan kata Iblis ini dalam al-Qur’an memang terkait dengan pembangkangan yang menyebabkannya terkutuk. Sahabat mulia Ibnu ‘Abbas ra, pernah mendefinisikan tentang iblis, yaitu “إبليس، أبلسه الله من الخير كله، وجعله شيطانًا رجيمًا عقوبة لمعصيته”(2)  Disebut Iblis karena Allah telah memutuskannya dari seluruh kebaikan, dan menjadikannya syetan yang terkutuk sebagai balasan atas kemaksiatannya.

Para penafsir al-Qur’an berbeda pendapat tentang genealogi Iblis. Diantaranya adalah penafsiran terhadap teks surat al-Baqarah ayat 34, yang menggambarkan iblis termasuk golongan malaikat yang diperintahkan sujud kepada Adam as.

وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس أبى واستكبر وكان من الكافرين 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Ayat ini menimbulkan pertanyaan terbuka, “a) Apakah Iblis itu dari kalangan jin atau malaikat? b) apakah jin itu adalah jenis malaikat atau jenis ruh yang berbeda? c) Jika berbeda, apa hubungannya dengan para malaikat?

Para penafsir Muslim yang mendukung gagasan bahwa Iblis merupakan golongan Malaikat mengemukakan beberapa pendapat diantaranya adalah: a) hal ini merupakan makna dzahir dari ayat 34 surat al-Baqarah tersebut. b) tidak dapat dipungkiri bahwa Allah menciptakan Malaikat itu berjenis-jenis dan bukan tidak mungkin ada jenis yang dibuat dari api, sebagaimana halnya ada yang dibuat dari cahaya api. c). Adapun informasi tekstual dalam ayat-ayat lain yang mengemukakan bahwa Iblis dari golongan jin adalah karena sifat fisiknya yang tersembunyi (tidak terlihat) sehingga disebut jin.(3)  Dalam hal ini Malaikat pun dapat pula disebut sebagai jin, karena sifat dasar fisiknya juga tersembunyi.(4) 

Sementara itu penafsir al-Qur’an yang mendukung gagasan bahwa Iblis merupakan golongan jin, juga mengemukakan argumentasi. Diantaranya adalah pendapat yang dapat kita ringkas dari ragam pendapat yang disampaikan oleh al-Thabari dalam tafsirnya. Asal mula Iblis bukanlah malaikat karena beberapa alasan, yaitu: a) Ketika al-Qur’an membicarakan jin, hal ini merujuk pada suatu strata ruh yang jelas berbeda dengan strata ruh yang lain. b) Malaikat dengan sifat alamiahnya tidak akan mampu berbuat dosa. c) Iblis memiliki keturunan, dan materi fisiknya berbeda dengan malaikat, d) Malaikat adalah utusan Allah yang tidak mungkin berakhlaq buruk.(5)   

Pendapat yang lebih terstruktur dapat kita temukan diantaraya adalah Al-Shobuniy(6) . Ia mengemukakan beberapa dalil bahwa iblis bukanlah dari kelompok malaikat, melainkan dari golongan jin.(7)  Ada beberapa argumen yang bisa dikemukakan yaitu :

Pertama, seandainya Iblis dari kelompok malaikat maka dia pasti tidak akan membantah perintah Allah. Sebagaimana tersebut dalam al Qur’an surat at Tahrim ayat 6,

... عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

“…penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Kedua, Allah ciptakan malaikat dari cahaya dan iblis dari Api. Hal ini sebagaimana diakuinya sendiri. Allah berfirman dalam surat al A’raf ayat 12,

قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين

“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Keterangan tentang hal ini juga terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ(8) 

“Malaikat diciptakan dari cahaya, dan jin dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan sebagaimana yang kalian ketahui”

Ketiga, terdapat teks yang jelas pada surat al kahfi ayat 50, tentang iblis berasal dari golongan jin.

وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس كان من الجن ففسق عن أمر ربه ...

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.”

Demikian pula teks yang terdapat pada surat al-Jinn ayat 4,

وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى اللَّهِ شَطَطًا

Dan bahwasanya, yang kurang akal daripada kami (iblis) dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.

Kata (سَفِيهُ) safih, pada ayat ini mulanya digunakan untuk menunjuk seseorang yang lemah akalnya. Kata tersebut digunakan juga oleh al-Qur’an dalam arti seseorang yang tidak menempuh jalan yang benar tetapi meyakini dirinya benar sehingga bersikap kepala batu. Ayat ini melanjutkan ucapan jin yang menyatakan dan bahwa, yang picik dan kurang berakal dari kaum kami atau secara khusus iblis selalu mengatakan terhadap Allah Yang Maha Esa dan Maha Suci itu perkataan yang melampaui batas.(9)  

Ragam argumen yang dikemukakan para penafsir al-Qur’an tentang genealogi Iblis lebih luas dari yang dikaji dalam naskah sederhana ini. Masih diperlukan sejumlah besar penelitian literature yang mendalam. Demikian pula, kontroversi apakah iblis sebagai golongan jin atau golongan malaikat. Penting untuk diingat adalah kaidah, bahwa kembali kepada keimanan terhadap yang ghaib, berarti menumbuhkan kesadaran bahwa sesuatu yang Allah tetapkan sebagai keghaiban, membutuhkan wilayah iman yang mendalam, karena akal rasional manusia memiliki keterbatasan untuk mengungkap hakikatnya. 


Catatan Kaki

  1. Muhammad bin Muhammad Abul Faidh Murtadho al-Zabidiy, Taj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qamus, (Beirut: Daarul Hidayah, tth), vol 15, hlm 464.
  2. Abu Ja’far al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-risalah, 1420 H), jilid 1, hlm 509.
  3. Secara bahasa kata jin berarti yang tak terlihat dan tersembunyi dari pandangan manusia. (سُمُّوا بالجنُّ لاستجنانهم من الناس فلا يُرونَ) Sebagaimana dikemukakan oleh al-Khalil bin ahmad al-Bashri, dalam bukunya Kitab al-‘Ain, (Beirut: Dar al-Hilal, tth), jilid 6. Hlm 21. Kitab al-A’in bisa jadi merupakan sebuah mu’jam (dictionary) bahasa Arab yang berusia sangat tua, penulisnya sendiri wafat pada tahun 170 H.
  4. Lihat Syamsu al-dīn al-Quthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet ke 2, 1964), Jilid 1, hlm 294-295.
  5. Abu Ja’far al-Thabari, op.cit, jilid 1, hlm 501-508.
  6. Ia adalah seorang professor ilmu tafsir pada universitas Umm al-Qura, Mekah, kelahiran suriah tahun 1930. 
  7. Muhammad Aliy al-Shobuniy, al-Nubuwwah wa al-Anbiya, (Damaskus: Maktabah al Ghazali, 1405 H), hlm 120.
  8. Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut : Daar Ihya al-Turats al-Arabiy, tth), Jilid 4, hlm 2294, hadits no 2996.
  9. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 14, hlm 487-488.

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar