Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Hijrah dan Pembentukan Masyarakat Muslim

 


Sigit Suhandoyo. Hijrah Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah memberikan banyak pelajaran bagi kehidupan Muslim. Perpindahan secara fisik yang disertai keikhlasan, keta’atan dan pengorbanan ini, tak sebagaimana anggapan para kritikus sebagai sebuah kepengecutan, lari dari kenyataan atau mengamankan diri dari kesulitan hidup. 

Sebagai sebuah rangkaian penggerakan dakwah Nabi Muhammad saw, hijrah juga memberikan pelajaran tentang bagaimana Beliau melakukan pentahapan dalam dakwah. Seusai menguji semangat juang, kesetiaan, kedermawanan dan persaudaraan para pengikutnya, berdirilah masyarakat madani di Madinah. Demikianlah Allah ta’ala berfirman dalam surat al Anfaal ayat 74,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia”.

Kajian ringkas pada naskah ini akan membahas kaidah-kaidah dan langkah operasional da'wah dalam pembentukan masyarakat.


Kaidah-Kaidah Da’wah Dalam Pembentukan  Masyarakat

1. Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama

Hijrahnya Rasulullah saw dan para sahabat menyampaikan sebuah nilai bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Menurut Thomas W. Arnold (1)   Islam adalah sebuah agama yang memenangkan pengaruhnya kepada manusia tidak melalui jalan kekerasan, peperangan apalagi pertumpahan darah.

Islam memenangkan pengaruhnya melalui ketertarikan dan ketentraman jiwa seseorang atas prinsip-prinsip didalamnya. Demikian pula pada pasca hijrah, setelah penaklukan-penaklukan dimulai sejarah membuktikan toleransi yang luar biasa atas kebebasan beragama wilayah-wilayah yang ditaklukkan.

Islam mewajibkan toleransi dan kebebasan memeluk agama bagi semua ummat dengan ketentuan membayar jizyah sebagai imbalan perlindungan keamanan yang diperolehnya. Pengislaman melalui jalan kekerasan sangat terlarang berdasarkan ayat al Qur’an dalam surat al Baqarah ayat 256,

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”


2. Da’wah Islam Tidak Disebarkan Melalui Peperangan

Jihad merupakan sebuah tema yang seringkali menjadi sasaran para kritikus mendiskreditkan masyarakat Muslim. bahwa Islam itu haus darah dan disebarkan dengan kekerasan, padahal kita dapati bahwa “pensyari’atan jihad peperangan adalah setelah terbentuknya Madinah.”(2)  Ramadhan al Buthy mengungkapkan bahwa “tema jihad merupakan salah satu tema yang menjadi peluang musuh-musuh Islam untuk mencampurkan antara kebenaran dan kebatilan dan mencari-cari kelemahan agama yang hanif ini.”(3)   

Sementara ilmuwan Muslim tidak hanya mendefinisikan jihad dalam pengertian perang. Bagi Muslim, jihad merupakan kewajiban dalam berbagai bidangnya yang memungkinkan, sebagaimana dikutip oleh al-Bahuty dari Ibnu Taimiyyah , 

الجهاد إما أن يكون بالقلب كالعزم عليه، أو بالدعوة إلى الإسلام و شرائعه، أو بإقمة الحجة على المبطل، أو ببيان الحق و إزالة الشبهة، أو بالرأي و التدبير فيما فيه نفع المسلمين، أو بالقتال بنفسه. فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه . (4)

Adapun Jihad dengan hati adalah bertekad kuat untuk berjihad, menda’wahkan Islam dan syari’atnya, menegakkan kebenaran atas orang yang berbuat kebatilan, menjelaskan kebenaran dan menghapus syubhat, dengan pemikiran dan perencanaan yang bermanfaat bagi ummat Islam maupun dengan memerangi jiwanya sendiri. Jihad adalah wajib dengan tujuan sebagaimana yang memungkinkannya.

Menurut Ramadhan al buthy, sebenarnya terminologi Islam tidak mengenal jihad sebagai bentuk pembagian perang defensif maupun ofensif. Jihad disyari’atkan karena kebutuhan penegakkan masyarakat kepada sistem dan prinsip-prinsip Islam.(5)  Hal semacam ini jelas berbeda dengan pengertian perang defensif ataupun ofensif yang terkait dengan perebutan dan penjajahan sebuah wilayah.


3. Membentuk Basis Penggerakan Da’wah

Tetap tinggalnya ummat Islam ditengah kemusyrikan di Mekah pada masa itu menggambarkan kekokohan akidah mereka ditengah ancaman ketakutan, pemenjaraan, pemboikotan, pengusiran bahkan pembunuhan. Kesabaran menghadapi fitnah terhadap agamanya merupakan bukti bahwa Rasulullah saw telah sungguh-sungguh membangun kepribadian generasi Islam pada masa itu. 

Namun pembinaan generasi Islam yang kokoh bukanlah semata bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, melainkan untuk tujuan yang lebih besar lagi, yaitu sebagai landasan pembentukan masyarakat Islam. Bahwa mengembalikan hak-hak peribadahan kepada Allah pasti akan menghadapi tantangan yang berat. Sayyid Quthb mengemukakan bahwa keislaman adalah sebuah deklarasi pembebasan manusia dari penghambaan kepada makhluk hanya kepada Allah semata.(6)   

Hijrah merupakan upaya beresiko, langkah menakutkan yang tak dapat dihindari. Tak seorangpun tahu bagaimana perkembangan selanjutnya dinegeri asing tersebut. Namun sebagai contoh, sejarah mencatat pengorbanan seorang sahabat Rasulullah, “Shuhaib ar Rumi yang melepaskan seluruh hartanya kepada kaum Quraisy yang menghadangnya agar dapat hijrah.”(7)    

Keimanan para muhajir ini juga diimbangi dengan keimanan kaum anshar yang menolong mereka. “Adalah Sa’ad bin al Rabi’ al Anshari ra”(8) , orang terkaya madinah pada masa itu, menawarkan separuh miliknya bagi Abdurrahman bin ‘Auf ra -- orang yang baru saja dikenalnya -- dengan tawaran yang sungguh-sungguh mengandung banyak implikasi itu dengan hati yang tulus.

Demikianlah gambaran kekuatan karakter generasi pertama Islam yang menjadi landasan bagi keberhasilan sebuah perjuangan. Muhammad Ghadban mengemukakan bahwa penting sekali membentuk basis penggerak da’wah. “Menurutnya para pejuang harus didik hingga ikatan akidah mereka lebih  mendominasi ikatan apapun dalam kehidupan dunianya.”(9)   Dan ikatan agama lebih kokoh dari ikatan apapun, sehingga keimanan ini akan mendorong terlaksananya program-program besar.


4. Membentuk Basis Sosial Da’wah

Pelajaran berikutnya dari hijrah Nabawiyah adalah untuk terciptanya kemerdekaan mengekspresikan keimanan baik dalam lingkup pribadi dan sosial dibutuhkan basis masyarakat yang mendukung. Hijrah Nabawiyah menjamin terciptanya keutuhan harga diri serta kemerdekaan mengeskpresikan penghambaan kepada Allah. Kemerdekaan beribadah dan berda’wah difahami sebagai prinsip dari sebuah komitmen awal yang pada tahap selanjutnya menjadi dasar bagi tegaknya sistem nilai, otoritas dan syari’at Allah. 

Sayyid Quthb mengemukakan pendapatnya  bahwa tujuan utama dilakukannya hijrah Nabawiyah adalah dalam kerangka mencari dan membina basis da’wah baru yang aman bagi proses pertumbuhan masyarakat Islam. 

ومن ثم كان بحث الرسول- صلى الله عليه وسلم- عن قاعدة أخرى غير مكة، قاعدة تحمي هذه العقيدة وتكفل لها الحرية، ويتاح لها فيها أن تخلص من هذا التجميد الذي انتهت إليه في مكة. حيث تظفر بحرية الدعوة وبحماية المعتنقين لها من الاضطهاد والفتنة.. وهذا في تقديري كان هو السبب الأول والأهم للهجرة.(10) 

Berangkat dari inilah Rasulullah saw mencari basis di luar Mekah yang dapat menjaga akidah dan menjamin kemerdekaan. Basis ini di harapkan akan bisa menembus kondisi yang stagnan di Mekah, dimana kebebasan berda’wah akan ditolerir. Sehingga menghindarkan para pemeluk Islam dari tekanan dan fitnah...inilah latar belakang yang paling utama dilakukannya hijrah.

Hijrah adalah langkah cerdas, sebuah tribulasi baru dalam jalan da’wah untuk menemukan dan membangun basis baru bagi kebangkitan masyarakat Muskum. Ini adalah langkah cerdas yang dilakukan Rasulullah saw sebagai pimpinan da’wah. Menurut Munir Muhammad Ghadban, Hijrah merupakan sebuah teori politik tingkat tinggi dan sebuah langkah tepat yang diajarkan Rasulullah saw, beliau menerapkan  “langkah yang berkesinambungan dalam membangun negara Islam dengan mencari dan mendayagunakan daerah yang cocok guna menegakkan negara Islam dan menjaga keyakinannya.”(11)  


Langkah-Langkah Operasinal Dakwah Dalam Pembentukan masyarakat

Ketika Rasulullah saw tiba di Yatsrib, masyarakat negeri ini belum memiliki kesatuan yang kokoh, mereka terdiri dari 2 kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj yang senantiasa berperang. “Dalam sebuah riwayat disebutkan mereka telah berperang selama 120 tahun.”(12)  Namun kedatangan nabi Muhammad saw mampu mengatasi perpecahan tersebut sekaligus membangun masyarakat yang beradab melalui sikapnya yang mulia. Esposito menuliskannya sebagai berikut, 

The City had been torn by long-standing intertribal feuds, and Muhammad came as an arbiter or chief judge. He consolidated his political power and established a state informed by his propethic message. Yathrib was renamed Medina…. In the new community, Muhammad was the political as well as the religious leader. He was prophet, head of state, commander of the army, chief judge and lawgiver. Under Muhammad guidance, Islam in Medina crystallized as both a faith and sociopolitical system.(13) 

“Selama ini kota itu merupakan sasaran pertentangan antar suku, dan Muhammad datang sebagai arbiter dan hakim bagi mereka dan mendamaikannya. Ia mengkonsolidasikan kekuaran politik dan membangun sebuah negara berdasarkan petunjuk pesan kenabian, yatsrib menjadi Madinah… dalam masyarakat baru itu Muhammad merupakan pemuka politik disamping pemuka agama. Dia itu nabi, kepala negara, panglima pasukan, hakim agung dan pembentuk hukum. Di bawah bimbingan Muhammad Islam di Madinah makin memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah keimanan dan sebuah sistem sosial politik”

Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Thomas W Arnold, “Ia berpendapat bahwa Islam pada masa itu menjelma menjadi sebuah sistem pemerintahan politik sekaligus agama.”(14)   Rasulullah saw berhasil membangun suatu pemerintahan theokrasi yang  absolut.

Keberhasilan Rasulullah saw membangun negara Madinah berdasarkan moral terpuji tak terlepas dari langkah-langkah perbaikan yang beliau tempuh. Said al Qahthani mengemukakan setidaknya ada beberapa langkah bijak yang ditempuh nabi, “yaitu Membangun masjid, Mempersaudarakan muhajirin dan anshar, Mengajak kaum Yahudi masuk Islam dan Menyusun aturan bermasyarakat.”(15)  


1. Membangun Masjid

Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam upaya membangun Negara Madinah adalah membangun masjid. Ahmad Syalabi mengemukakan, 


... وفي هذا البيت يلتقى المسلمون للعبادة، و المشاورة، و للقضاء و التجارة و اللسمر، و فيه يلتفون حول الرسول يأخذون عنه مبادىء الدين، و نظام المجتمع الجديد، و أيات القرآن الكريم، و في هذا المسجد ستمتزج النفوس و العقليات...(16) 

Di rumah itu ummat Islam bertemu untuk beribadah, bermusyarah, penentuan hukum, perniagaan dan  berdiskusi. Di sanapula mereka berkumpul disekitar Rasulullah saw untuk mendapatkan darinya prinsip-prinsip agama dan system masyarakat baru, ayat-ayat al Qur’an, dan di masjid itu pula mereka membersihkan jiwa dan akal.

Melalui masjid tercipta persamaan derajat antara anshar dan muhajirin, kaya dan miskin maupun antara orang merdeka dan budak karena melalui masjidlah terletak dasar-dasar penilaian martabat seseorang berdasarkan ketaqwaan dan bukan atas dasar keturunan ataupun kekuatan fisik. Sebuah persaudaraan dan persatuan ummat Islam. 

Melalui masjid pula jiwa kepedulian social ditumbuhkan, bahkan menurut seorang orientalis semisal Karen Armstrong  mengemukakan bahwa masjid nabawi pada masa itu menjadi tempat pertemuan publik dalam hal pengaturan kehidupan social, peningkaran kesejahteraan. “Hal-hal semacam memberikan derma makanan dan perawatan kesehatan pada masa Nabi saw masuk kedalam ranah kesucian agama.”(17)   

Hal ini mengingatkan akan pentingnya seorang da’i untuk melakukan da’wah kultural dengan cara hidup bersama masyarakatnya, melihat, mendengar, merasa dan menyelesaikan masalah-masalah masyarakat melalui kebersamaan. Masjid Nabawi pada masa nabi saw juga menjadi tempat perbendaharaan ilmu, pendidikan agama dan dunia. 


2. Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar 

Menurut Ahmad Syalabi, “proses pengikatan tali persaudaraan ini terjadi baik antara Anshar dan Muhajirin maupun antara sesama Muhajirin.”(18)  Persaudaraan ini kemudian menjadi perintis kebangkitan sebuah masyarakat yang memiliki misi penyebaran nilai-nilai da’wah dan risalah, menuju pembentukan dunia baru berdasarkan dasar-dasar yang lebih kokoh dan menjamin terciptanya persamaan hak dan keadilan di depan hokum yaitu akidah yang benar dan tujuan yang baik. Abul Hasan an Nadwi bahkan menyebutnya sebagai “satu-satunya dasar bagi persaudaraan Islam secara Internasional.”(19)  Islam sangat mementingkan ukhuwwah Islamiyyah dan kepedulian terhadap sesama. Inilah cerminan masyarakat baru yang lahir di Madinah yang berbeda dengan ikatan yang terbentuk pada masyarakat lain diluar Islam.

Rasulullah menyaudarakan sejumlah 90 orang antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka saling berbagi dan membantu, muhajirin membantu pekerjaan Anshar dan Anshar membagi hasilnya. Menurut al Qahthani, hubungan persaudaraan mereka sebatas “saling tolong menolong dan sepenanggungan dan tidak sampai saling mewarisi.”(20)  


3. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Kaum Muslimin

Selain membangun pasar bagi kaum Muslimin, Rasulullah saw juga meletakkan dasar-dasar sistem ekonomi bagi kaum Muslimin. Sistem ekonomi adalah perpaduan dari aturan–aturan atau cara–cara yang menjadi satu kesatuan dan digunakan untuk mencapai tujuan dalam perekonomian. Perbedaan dalam tujuan ekonomi inilah yang pada akhirnya menjadikan terjadinya perbedaan dalam aturan maupun tata cara yang ditempuh. Menurut Yusuf al Qaradhawi, ekonomi Islam adalah “ekonomi ilahiyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridho Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’at Allah.”(21)  sehingga sebagai sebuah sistem ekonomi “pondasinya adalah syari’at yang menjadi sumber pandangan dunia serta tujuan dan strateginya.”(22)  

Ahmad Syalabi mengemukakan beberapa prinsip ekonomi dalam masyarakat Islam yang diterapkan Rasulullah saw di Madinah, “seperti prinsip kepemilikan pribadi, kedudukan harta dalam Islam, larangan-larangan dalam praktek berniaga,  termasuk prinsip-prinsip keseimbangan ekonomi dan pemerataan melaui zakat hingga pengaturan ekonomi dalam rumah tangga.”(23) 

4. Menyusun Aturan Bermasyarakat  antara Ummat Islam dengan Kaum Yahudi

Rasulullah saw menetapkan perjanjian antara ummat Islam dan Non Islam yang berisi perdamaian, sumpah setia serta mengakui agama dan harta-harta mereka. Rasulullah meminta jaminan kepada semua pihak untuk mematuhi perjanjian tersebut. Ahmad Syalabi menuliskan kandungan penting perjanjian itu sebagai berikut, 

هذه المعاهدة من أنفس المعاهدات الدولية و أمتعتها و أجدرها بتقدير الناس جميعا على اختلاف أديانهم، و هي بالاضافة إلى ذلك تنير السبيل للمؤمنين، و تبيين لهم كيف يتعاونون مع أتباع الأديان السماوية الأخرى، و يكونون معهم و حدة تتمتع كل مجموعة فيها بالحرية الدينية. (24) 

“Perjanjian ini merupakan bagian yang indah dari perjanjian kenegaraan dan menciptakan ketenangan hidup bagi sesama manusia yang berbeda-beda agama, perjanjian itu juga menjadi penerang jalan bagi orang-orang beriman dan penjelas bagi mereka bagaimana berinteraksi terhadap pengikut agama samawiyah yang lain, perjanjian itu menjamin integritas bagi seluruh kelompok dengan kebebasan dalam beragama.”

Ikatan perjanjian ini memberikan peranan penting bagi terciptanya stabilitas politik dan sosial yang berdampak juga bagi kelancaran proses pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Sehingga kemudian pengaruh Islam meluas dan kokoh.


5. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Politik

Pada hakikatnya syari’ah merupakan sistem yang mengatur bagaimana menjalani hidup secara benar dan menjauhkan perbuatan yang salah. Mengajarkan manusia bagaimana menjalani hidup sejak dari tataran konsep sampai permasalahan teknis. Maka kalau kita melihatnya sebagai sebuah sistem hukum, akan segera terlihat syari’ah merupakan suatu sistem hukum yang lengkap dan terpadu. Karena suatu hukum hanya bisa dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum, maka penerapan syari’ah sangat memerlukan kekuasaan politik. Pada masa Rasulullah saw beliau menetapkan musyawarah sebagai dasar sistem politik dalam masyarakat Islam. Ahmad Syalabi mengemukakan pendapatnya sebagai berikut,

وضع الرسول صلوات الله عليه في ذلك العهد المبكر أسس الحكم في المجتمع الإسلامي في مختلف الشئون، و الدعامة الرئيسية لهذه الأسس هي اتباع النص الصريح إذا وجد، فإذا لم يوجد فالشور و الإجتهاد. (25). 

Pada masa yang penuh keberkahan ini Rasulullah saw meletakkan dasar-dasar hukum bagi masyarakat Islam dalam berbagai keadaan. Dasar bagi kepemimpinan dan pengaturan adalah mengikuti nash yang jelas namun jika tidak ada maka keputusan bisa ditemukan melalui musyawarah dan ijtihad.

Musyawarah memberikan hikmah jika setiap Muslim mampu berjuang mencapai sintesa baru yang memberikan suatu kontinuitas antara tuntutan perkembangan zaman dengan tuntutan syari’at Islam, maka daerah kemungkinan terbentang luas di depan mereka. Mengenai permasalahan sosial, kemasyarakatan, ekonomi, politik hingga kenegaraan. Proses ini tidak dapat dielakkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Negara Islam, dengan tetap melibatkan identitas beserta pemahaman dan komitmen keagamaan.


Kesimpulan

Hijrah adalah catatan maha gemilang dari bangkitnya sebuah generasi yang beriman kepada Allah dan mengikuti langkah-langkah Rasul-Nya. Keteguhan hati para sahabat untuk beriman dan sabar dalam menempuh jalan da’wah bersama Rasulnya menghasilkan pencapaian-pencapaian yang mengagumkan, yaitu terbentuknya masyarakat madinah, sebuah masyarakat yang berdiri tegak atas dasar agama.

Pencapaian-pencapaian yang diraih melalui, pendidikan, da’wah, diplomasi dan peperangan memberikan sebuah garis pemisah yang jelas bahwa Islam tidak disebarkan melalui jihad perang serta tidak ada paksaan dalam beragama. Sebab peperangan dalam Islam bukanlah dalam rangka penguasaan dan penjajahan sebuah wilayah melainkan sebagai sebuah metode untuk mendapatkan pengakuan akan kedaulatan negara Islam.

Madinah pada masa itu berhasil menyatukan dua poros, yakni keagamaan dan politis. Keyakinan dan ideologi keagamaan telah memberi motivasi yang kuat bagi kesatuan suku-suku arab dan memberikan ilham serta pengarahan untuk merubah pandangan dunia tentang kehidupan. Islam terjelmakan sebagai gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan kehidupan bersama,  serta dasar ideologi masyarakat maupun negara.

Arti penting dari ragam peristiwa sejarah hijrah nabawiyah mengetengahkan berbagai cara berfikir tentang bagaimana mereaktualisasikan kembali nilai-nilai hijrah pada masa kini guna membangkitkan kembali kejayaan ummat Islam.


Catatan Kaki

  1. Thomas W. Arnold, , The Preaching of Islam, (terj. Nawawi Rambe) Jakarta: Widjaya., h 40.
  2. Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, op.cit, 4/84-85. Ayat yang dimaksud adalah surat al Baqarah 216 “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ”
  3. Muhammad Sa’id Ramadhan al Buthy, Sirah Nabawiyah, (terj. Aunur Rariq Shaleh Tamhid) Jakarta: Rabbani Press., h 229
  4. Manshur bin Yunus bin Solahuddin Ibn Hasan bin Idris al Bahuty, tt, Kasyaf al Qina’ ‘an Matan al Iqna’, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 3/36. 
  5. al Buthy, op.cit, h 231
  6. Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, 1412H, Fii Dzilalil Qur’an, Cairo: Daarus Syuruq, 2/1005.
  7. Shafiyurrahman al Mubarakfuri, 1414H, ar Rahiqul Makhtum, (terj. Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al Kautsar., h 174
  8. Ibid,h 207.
  9. Munir Muhammad Ghadhban, 1411 H, al Manhaj al Haraky li Sirah an Nabawiyah, Yordan : Maktabah al Manar, 1/65.
  10. Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, op.cit, 1/29.
  11. Munir Muhammad Ghadhban, op.cit, h 68.
  12. Abul Barkat an Nasafy, 1419 H, Madarikut Tanzil wa Haqaiqu Ta’wil, Beirut : Daar al Kalam at Thoyyib, 1/655.
  13. John L. Esposito, 1984, Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, h 6.
  14. Thomas W. Arnold, op.cit, h 29
  15. Muhammad Sa’id bin Ali bin Wahif al Qahthani, 1994, al Hikmah fi Da’wati Ilallah, (terj. Drs Masykur Hakim, MA), Jakarta: Gema Insani Press, lihat h. 123-133.
  16. Ahmad Syalabi, 2000, al Mujtama’ al Islamy, Cairo : Maktabah an Nahdhoh al Mishriyah, h 57.
  17. Karen Armstrong,2013, Muhammad Prophet for Our Time, (terj. Yuliani Liputo) Bandung: Mizan., h 133-134.
  18. Ahmad Syalabi, op.cit, h 59
  19. ‘Ali Abul Hasan bin Abdul Hayyi bin Fakhruddin an Nadawi, 2007, as Siratu an Nabawiyah, (terj : Muhammad Halabi Hamdi), Yogyakarta : Mardhiyyah Press, h 226.
  20. Muhammad Said bin Ali al Qahthani, op.cit, lihat h. 126.
  21. Yusuf al Qaradhawi, 2001, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Rabbani Press, hlm 25.
  22. Masyhuri et.al,  2005, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 42.
  23. Ahmad Syalabi, op.cit, lihat h 70-111.
  24. Ahmad Syalabi, ibid, h 62.
  25. Ibid, h 65.

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar