Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

2 Kali Witir Dalam Semalam



Sigit Suhandoyo, MA. Sholat witir merupakan sholat sunnah utama yang memiliki banyak kemuliaan, terlebih lagi di bulan Ramadhan. Karena terdapat banyak sekali perintah dan anjuran Nabi saw untuk menghidupkan malam-malam Ramadhan. 

Dalam prakteknya, kaum Muslimin di Indonesia biasa mengerjakan sholat witir berjama’ah dimasjid setelah shalat tarawih. Shalat witir adalah penutup sholat di malam hari, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh banyak sekali imam hadits, dan diantaranya oleh Bukhari dari ‘Abdullah bin Umar ra,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah akhir sholat kalian dimalam hari dengan witir. (shahih al-Bukhari, 2/25 hadits no 998)

Hadits ini kemudian menjadi bahan kajian para imam fiqih, tentang bagaimanakah hukum seseorang yang sudah sholat witir berjama’ah di Masjid, kemudian ia ingin kembali menunaikan sholat sunnah lagi setelahnya, seperti sholat tahajud. Terdapat dua pandangan terhadap permasalahan ini,

Pendapat pertama yaitu, Boleh mengerjakan sholat lagi dengan cara membatalkan witir yang sudah dikerjakan. Hal ini dilakukan dengan cara mengerjakan sholat 1 raka’at dengan niat melengkapi 3 raka’at witir sebelumnya, hingga bilangan raka’atnya menjadi genap 4 raka’at.

Pendapat ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh sebagian kecil saja dari kalangan ulama syafi’iyyah. Namun sebagian besar pengikut Syafi'iyyah menolaknya.(al-Majmu 4/24). 

Badruddin al-‘Aini, seorang pakar hadits dari kalangan Hanafiyah mengemukakan bahwa, ‘Abdullah bin Umar ra biasa mengerjakan sholat 1 raka’at untuk memulai sholat malamnya, dengan niat menggenapkan witir sebelumnya (setelah tawarih), kemudian beliau sholat 2 raka’at - 2 raka’at, lalu menutup sholat malamnya dengan witir. Namun menurut Badruddin al-‘Aini, pendapat ini tidak diikuti oleh jumhur (sebagian besar) ulama. (al-Binayah Syarh al-Hidayah, 2/504) 

Adapun pendapat kedua adalah, Boleh mengerjakan sholat lagi dengan jumlah raka’at genap, tanpa mengerjakan witir kembali. Pendapat ini merupakan pendapat sebagian besar ulama Fiqh. Pendapat ini didasarkan kepada hadits  yang diriwayatkan diantaranya oleh Abu Dawud,

لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ 

Tidak ada 2 witir dalam semalam. (2/67 hadits no 1439) 

Imam Nawawi dari kalangan Syafi’iyyah mengemukakan bahwa, pendapat yang masyhur dalam mazhab kami adalah, bila seseorang witir di awal malam kemudian bangun shalat tahajjud, witirnya tidak batal, ia boleh shalat berapa rakaat pun yang ia sukai dengan bilangan genap. (al-majmu 4/24)  

Dari kalangan Malikiyah, al-Mawaq mengemukakan bahwa yang masyhur adalah jika seseorang sudah sholat tarawih dan witir bersama imam di masjid, tidak diperlukan mengulang kembali sholat witirnya. Jika ia ingin sholat nafilah setelah itu, diperbolehkan. (al-Taj wal Iklil 2/379) 

Ibnu Qudamah, seorang ulama dari kalangan Hanabilah juga mengemukakan pendapat yang serupa,

مَنْ أَوْتَرَ مِنْ اللَّيْلِ، ثُمَّ قَامَ لِلتَّهَجُّدِ، فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُصَلِّيَ مَثْنَى مَثْنَى، وَلَا يَنْقُضَ وِتْرَهُ.

Barang siapa mengerjakan witir di (awal) malam, kemudian ia bangun untuk mengerjakan tahajud, maka lebih disukai baginya untuk sholat 2 raka’at-2 raka’at, dan tidak membatalkan witirnya. (al-Mugni 2:120) 

Pendapat yang kedua ini juga diperkuat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ummu Salamah ra,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ

Bahwasanya Nabi saw sholat setelah sholat witir 2 raka’at. (Sunan at-Tirmidzi 2/335 hadits no 471) 

Dengan demikian, pendapat yang lebih utama diikuti adalah pendapat yang kedua tentang dibolehkannya sholat nafilah setelah sholat witir. Dilakukan 2 raka’at-2 raka’at dalam jumlah yang dikehendakinya. Boleh dilakukan sebelum tidur, maupun setelah bangun dari tidur.

Sebagian ulama bahkan mengutamakan witir berjama’ah bersama imam, selama bulan Ramadhan. Sehingga sebaiknya jama’ah tidak keluar masjid meninggalkan sholat witir, seusai berjama’ah tarawih. (al-Binayah Syarh al-Hidayah, 2/504) wallahu a’lam bishowab.

Daftar Pustaka

  • Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa an-Najah, tth)
  • Badruddin al-‘Aini, al-Binayah Syarh al-Bidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H) 
  • Abu Dawud as-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah)
  • Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)
  • Muhammad Yusuf al-Mawaq, al-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994)
  • Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H)
  • Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, 1975)


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar