Tashwir al-Fanniy fi al-Qur’an Buku yang ditulis oleh Dr. Sayyid Quthb (w.1966), dengan kecerdasan dan daya tarik spiritual yang khas ini, menandai lahirnya sebuah gagasan baru tentang teori keajaiban dalam Al-Qur'an.
Kajiannya tentang kesatuan visualisasi estetik dan retorika uslub Al-Qur'an adalah pendalamannya yang tertuang dalam kitab ini, kemudian ia memperkuat teorinya dengan menempatkannya dalam adegan-adegan hari kebangkitan dalam Al-Qur'an, melalui bukunya Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an.
Menurut Sayyid Qutb, sejak awal turunnya wahyu, Al-Qur'an memiliki pengaruh yang kuat terhadap jiwa karena cara bertuturnya. Ini karena uslub favoritnya adalah visualisasi estetik. Menurut Sayyid Quthb, bahasa Al-Qur'an memberikan ruh yang menghidupkan makna-makna abstrak menjadi sebuah gerakan, adegan, rangkaian fragmen dalam kehidupan nyata.
Sebagai contoh, Al-Qur’an mereproduksi makna-makna abstrak melalui visualisasi estetik, ketika menerangkan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan surga Allah ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (Al-A’raf 40)
Para pembaca Al-Qur’an akan diinspirasi untuk melakukan visualisasi dalam imajinasi. Proses terbukanya pintu-pintu langit dan masuknya benang tebal yang berupa seekor unta, kedalam sebuah lubang jarum. Sejauh kemampuan para pembaca berimajinasi, selanjutnya menumbuhkan aspek rasa tentang ke Mahaan Allah, dan aspek nalar tentang suatu kemustahilan yang akhirnya menetap dalam relung jiwa.
Pada tempat lain, Al-Qur’an memvisualisasikan kesia-siaan dalam kasus shodaqah, dengan menghadirkan makna abstrak dalam ayat 264 surat al-Baqarah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Al-Qur’an memvisualisasikan secara estetik keadaan batu licin yang tak menumbuhkan apapun, sekalipun diatasnya tertutupi tanah, namun seketika itu hilang daripadanya setelah ditimpa hujan, tanpa ada suatu kekuasaan yang bisa diusahakan oleh manusia.
Visualisasi estetik dilanjutkan dalam ayat 265, dalam makna yang bertentangan.
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Ayat-ayat ini menunjukkan suatu keserasian yang menakjubkan, dalam suatu atmosfer visualisasi tentang riya dan ikhlas dalam ibadah shodaqoh. Manusia yang riya menganggap segala amalnya dapat memuliakannya di dunia, padahal sesungguhnya Allah menghapusnya dan menghilangkan dari mereka kemampuan menguasainya. Sementara keikhlasan itu membuahkan hasil disisi Allah ta’ala. Tidakkah dataran tinggi itu mengundang hujan untuk turun, sekalipun hujan tidak turun, maka gerimis pun memadai untuk menyuburkan kebun dan berbuah.
Memvisualisasikan kehidupan dalam Al-Qur'an adalah cara yang komprehensif dalam mengungkapkan makna. Al-Qur’an menampilkan pergerakan warna-warna kehidupan, menghadirkan musikalitas teks dan konteks yang memikat indera dan menghidupkan imajinasi pembaca. Inilah kehidupan di bawah naungan Al-Qur'an.
Fi Zilal Al-Qur'an, tafsir besar yang disusun Sayyid Quthub ini, menjadi bukti nyata penerapan teorinya, dengan menambahkan ide baru, bahwa setiap surah dalam Al-Qur'an membentuk satu kesatuan yang utuh, berputar pada satu poros, yang memiliki suasana dalam menghadapi topik-topik yang runut dan harmonis sehingga satu surat memiliki kepribadian yang unik. Dan ruh yang membuat pembacanya merasa bahwa surah adalah kehidupan.
Sayyid Qutb akhirnya menyimpulkan, bahwa Al-Qur'an dalam semua surahnya memiliki satu tujuan, yaitu konsep keberadaan Islam, dimulai dengan pembentukan pribadi dan membangun masyarakat atas dasar iman kepada Allah, dan selaras sepenuhnya dengan kehendak ilahi dalam mengatur seluruh semesta kehidupan. Wallahu a’lam bishowab (ss)