Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Tafsir Surat An-Naba Bagian Pertama (Ayat 1-5)

Sigit Suhandoyo

Makna Kata An-Naba. Dalam bahasa Arab, kata an-Naba’ biasa diartikan (خبر) khabar, yaitu sesuatu yang bergerak merambat dari suatu tempat ke berbagai tempat yang lain (Maqayis al-Lughah 5/385). Kata khabar mewakili seluruh makna berita secara umum. Hal ini berbeda dengan kata an-Naba’ yang memiliki makna-makna khusus dari sebuah berita.

Menurut pakar susatera, kata an-Naba’ hanya digunakan untuk berita yang spesial, luar biasa dan merupakan hal yang penting. Sehingga terkadang bukti nyata atas sebuah peristiwa juga disebut dengan an-Naba. (al-Kulliyat 886)  Lebih lanjut menurutnya an-Naba adalah berita yang dipastikan benar, dan tidak mengandung kebohongan. Suatu berita disebut juga sebagai an-Naba, karena memilki kemanfaatan yang besar dalam mengembangkan pengetahuan dan menghilangkan keraguan.(al-Kulliyat 900)

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Zabidi. Menurutnya An-Naba’ terkadang dimaknai sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini menggambarkan keutaamaan dari kebenaran isi suatu berita yang kemudian menyebabkan orang tergantung padanya. An-Naba juga berarti suatu berita yang mengarahkan orang untuk mengikuti isi berita. (Taj al-Arus 1/444) 

Dalam surat an-Naba, kata ini dikaitkan dengan kata (العظيم) al-azhim, untuk menguatkan pesan bahwa berita tentang hari akhir bukanlah berita biasa tetapi luar biasa. Hari akhir adalah kebenaran yang pasti terjadi. Kejelasan peristiwanya didukung oleh informasi pengetahuan dan bukti-bukti nyata yang mengantarkan pada keyakinan, orang-orang yang tidak mau menerima isi berita ini dipastikan akan celaka. 

(5)عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ 

(1).Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? (2).Tentang berita yang besar, (3).yang mereka perselisihkan tentang ini. (4).Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, (5). kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui.

Ancaman Kepada Para Pengingkar Hari Berbangkit. Kelompok ayat-ayat ini menjelaskan tentang perilaku orang-orang Quraisy. Mereka bertanya-tanya tentang berita hari berbangkit. Sebagian meyakini, namun sebagian lainnya tidak bermaksud mencari penjelasan, melainkan menjadikannya bahan cemoohan dan pengingkaran. Padahal hari berbangkit adalah sebuah kepastian yang benar adanya.

Pakar tafsir hukum al-Qurthubi mengemukakan, hari berbangkit bukanlah sesuatu yang bisa diperselisihkan. Kelak orang-orang beriman kepadanya akan mengetahui kebenarannya, demikian pula orang-orang yang ingkar kepadanya akan mengetahuinya pula. Inilah penegasan sekaligus ancaman dari Allah ta’ala bagi mereka yang mengingkari kebenaran hari berbangkit (هُوَ وَعِيدٌ بَعْدَ وَعِيدٍ), ini adalah ancaman setelah ancaman, demikian kutipnya dari al-Hasan (al jami’ li ahkam al-Qur’an 19/170-171).

Menurut Asy-Sya’rawi, pada hari akhir nanti, ketika orang-orang tersebut melakukan perbandingan, maka yang ada adalah kerugian bagi yang diazab. Siksaan berat yang menyakitkan itu, menjadi lebih menyakitkan lagi, ketika melihat kelompok lain mendapat nikmat pada saat penyiksaan berlangsung. Sedangkan orang yang mendapat nikmat kemudian melihat kelompok lain disiksa akan merasakan nikmat yang bertambah-tambah. Saat itulah kerugian akan menjadi nyata bagi orang-orang kafir. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/13)

Hari berbangkit adalah sebuah kepastian, sehingga dalam al-Qur’an digunakan pula ungkapan bahwa hari kiamat itu dekat. Karena sesuatu yang pasti terjadi berarti dekat. Orang-orang yang mengingkarinya akan berada dalam kerugian yang berlapis-lapis. Pada dasarnya orang-orang yang mengingkari hari berbangkit adalah karena mereka mengingkari Allah sebagai Pencipta, sehingga dalam kelompok ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman tentang berbagai fenomena penciptaan.

Daftar Pustaka

  1. Abu al-Biqai al-Hanafi, al-Kuliyat Mu’jam fi al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyah, (Beirut; Muassasatu al-Risalah, tth)
  2. Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
  3. Murtadha al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, (Mesir: Dar al-Hidayah, tth).
  4. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964)
  5. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Duta Azhar, 2016)


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar