Qk6tZv5oorYOvbzoT8fSpmGbsikUNLG55TOQFNMJ

Bid'ah Hasanah


Itsna A Shuwaivia.
Darimanakah ungkapan bid’ah hasanah itu berasal? Tulisan sederhana ini mencoba menelusuri sedikit pendapat dari beberapa ulama yang menggunakan ungkapan tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Pendapat yang --bisa jadi-- paling awal dapat dirujuk tentang ungkapan “bid’ah yang baik” adalah sebuah riwayat tentang perkataan Umar ibn Khattab ra, dalam al-Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas yang wafat pada 179 H. Pada terbitan Dar Ihya tahun 1406 H tertera pada halaman 114, sebuah riwayat sebagai berikut:

Menyampaikan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin Zubair, dari Abdurrahman bin Abdul Qari, sesungguhnya ia berkata,

خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ. يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي «لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ» ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، فَقَالَ عُمَرُ «نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ»  

Pada Ramadhan Aku keluar bersama Umar ibn Khattab ke masjid, kami jumpai manusia berkelompok saling berpisah-pisah. Orang-orang sholat sendiri-sendiri dan sebagian dalam kelompok. Maka Umar berkata, “Demi Allah, seandainya aku kumpulkan kalian dalam satu imam maka itu lebih utama.” Kemudian mereka berjama’ah kepada Ubai bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersama Umar ibn Khattab pada malam lain dibulan Ramadhan, maka manusia sholat berjama’ah. Umar berkata, “Inilah sebaik-baik bid’ah”

Pada kasus yang lain, Ad-Dasuqy (wafat 1230H), ulama dari kalangan Malikiyah mengomentari bahwa melantunkan istighfar, tasbih dan sholawat setelah adzan isya sebagai sebuah bid’ah yang baik (hasanah). Menurutnya asal muasal perbuatan itu pada masa Sholahuddin al-Ayyubi. Pendapat ini dapat dirujuk pada kitab hasiyatud Dasuqi ‘ala Syarhil Kabir, terbitan Darul Fikr, juz 1 halaman 193.

Riwayat Imam Malik tentang Umar bin Khattab tersebut di atas, kemudian diriwayatkan pula oleh Imam al-Bukhari dengan jalur periwayatan yang sama. Dapat dirujuk pada hadits bukhari no 2010.

Salah seorang ulama Hanafiyah, Badruddin al-‘Ainiy (wafat 865 H), menyusun ‘Umdatul Qari yang merupakan syarah shahih Bukhari. Ia menuliskan

إِن كَانَت مِمَّا ينْدَرج تَحت مستحسن فِي الشَّرْع فَهِيَ بِدعَة حَسَنَة

Jika sesuatu yang baru itu tidak bertentangan tapi menyebabkan bertambahnya kebaikan pada syari’at maka itu bid’ah hasanah. 

Pendapat berikutnya yang dapat dirujuk adalah al-Imam asy-Syafi’i. Dapat dilihat pada kitab Hilyatul Aulia wa Thobaqatul Ashfiya terbitan Dar al-Fikr 1394 H, Juz 9 hlm113. Kitab ini di susun oleh Abu Nu’aim al-Ashfihani yang wafat pada 430 H. Ia menuliskan sebuah riwayat dari Harmulah bin Yahya, ia berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy Syafi’i (imam Syafi’i) berkata:

 الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ. فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ

“bid’ah itu terbagi dua yaitu bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Adapun yang sesuai dengan sunnah maka itu terpuji dan yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.

Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) menyebutkan bahwa, pendapat imam Asy-Syafi’i tentang bid’ah hasanah tersebut di atas terkait pula dengan pendapatnya atas hadits tentang Umar bin Khattab ra. Lihat al-Hawi lil Fatawi terbitan Darul Fikr Juz 1, halaman 414.

wallahu a’lam bishowwab


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar